Selasa, 02 Juni 2015

Penjualan Angsuran

I.  Pengertian Penjualan Angsuran
Penjualan angsuran adalah penjualan barang atau jasa yang dilaksanakan dengan perjanjian dimana pembayaran dilakukan secara bertahap atau berangsur. Biasanya pada saat barang atau jasa diserahkan kepada pembeli, penjual menerima uang muka (down payment) sebagai pembayaran pertama dan sisanya diangsur dengan beberapa kali angsuran. Karena penjualan harus menunggu beberapa periode untuk menagih seluruh piutang penjulannya, maka biasanya pihak penjual akan membebankan bunga atas saldo yang belum diterimanya.

Resiko atas tidak tertagihnya piutang usaha angsuran ini sangat tinggi, mungkin saat akan dilakukan penjualan angsuran telah dilakukan survai atas pembeli dan memperoleh hasil yang baik. Karena penagihan piutang usaha angsuran memakan waktu yang cukup lama (beberapa periode), hal tersebut kemungkinan dapat merubah hasil survai yang telah dilakukan semula terhadap pembeli. Untuk menghindari hal-hal demikian, penjual biasanya akan membuat kontrak jual beli (security agreement), yang memberikan hak kepada penjual untuk menarik kembali barang yang telah di jual dari pembeli. 

II. Metode Pengakuan Laba Kotor Pada Penjualan Angsuran
Untuk menghitung laba bersih pada penjualan angsuran adalah sangat kompleks, karena beban sehubungan dengan penjualan angsuran tersebut tidak hanya terjadi pada saat penjualan angsuran tersebut dilakukan, melainkan akan terjadi sepanjang penjualan angsuran tersebut belum dilunasi.
Sesuai dengan konsep akuntasni yaitu membandingkan antara beban dengan pendapatan matching costs against revenue), maka pada saat penjualan angsuran dapat ditentukan nilai dari penjualan, harga pokok dan beban yang terjadi pada periode tersebut.

Karena penagihan penjualan angsuran meliputi beberapa periode, timbul masalah bagaimana beban yang terjadi pada periode berikutnya (misalkan beban penagihan, administrasi, perbaikan dan pemilikan kembali) sehubungan penagihan piutang usaha angsuran tersebut.

Untuk menghitung laba kotor dalam penjualan angsuran pada prakteknya dapat dilakukan dengan metode Laba Kotor direalisasi sesuai dengan penerimaan kas.      

Dalam metode ini laba kotor diakui sesuai dengan realisasi penerimaan kas dari penjualan angsuran yang diterima pada periode akuntansi yang bersangkutan.

Prosedur yang menghubungkan tingkat keuntungan dengan realisasi penerimaan angsuran pada perjanjian penjualan angsuran adalah:
  1. Penerimaan pembayaran pertama dicatat sebagai pengembalian harga pokok (Cost) dari barang-barang yang dijual atau service yang diserahkan, sesudah seluruh harga pokok (Cost) kembali, maka penerimaan-penerimaan selanjutnya baru dicatat sebagai keuntungan. Prosedur ini dianggap sangat konservatif. Dapat didukung jika timbul keraguan mengenai nilai yang dapat diperoleh kembali, baik yang berkaitan dengan saldo atau sisa kontrak cicilan maupun yang berkaitan dengan barang-barang yang terkena pemilikan kembali. 
  2. Penerimaan pembayaran pertama dicatat sebagai realisasi keuntungan yang diperoleh sesuai dengan kontrak penjualan; sesudah seluruh keuntungan yang ada terpenuhi, maka penerimaan-penerimaan selanjutnya dicatat sebagai pengumpulan kembali atau pengembalian harga pokok (Cost). 
  3. Setiap penerimaan pembayaran yang sesuai dengan perjanjian dicatat baik sebagai pengembalian harga pokok (Cost) maupun sebagai realisasi keuntungan di dalam perbandingan yang sesuai dengan posisi harga pokok dan keuntungan yang terjadi pada saat perjanjian penjualan angsuran ditandatangani. Di dalam hal ini keuntungan akan selalu sejalan dengan tingkat pembayaran angsuran selama jangka perjanjian. 


Metode ini memberikan kemungkinan untuk mengakui, keuntungan prosporsional dengan tingkat penerimaan pembayaran angsuran. Di dalam akuntansi prosedur demikian dikenal dengan metode angsuran atau dasar angsuran (installment method or installment basis). 

Jika penjualan angsuran berupa barang dagang, dan perusahaan menggunakan system phisik di dalam pencatatan persediaannya, maka perusahaan akan mendebit perkiraan piutang usaha angsuran dan mengkredit perkiraan penjualan angsuran.

Jurnalnya adalah: 
Piutang usaha angsuran xxxxxx
Penjualan angsuran   xxxxxx

Sedangkan jika digunakan system balance permanen selain jurnal tersebut di atas ditambah jurnal pengakuan harga pokok penjualan angsuran tersebut 

Jurnalnya adalah:
Piutang usaha angsuran xxxxxx
Penjualan angsuran xxxxxx
Harga pokok penjualan angsuran xxxxxx
Persediaan barang dagang xxxxxx
Mengenai penagihan piutang usaha angsuran tersebut akan dicatat dengan mendebit perkiraan kas dan mengkredit perkiraan piutang usaha 

 Jurnalnya adalah: 
Kas xxxxxx
Piutang usaha angsuran   xxxxxx

Selanjutnya pada akhir periode, saat dilakukan jurnal penyesuaian akan dicatata mengenai tiga hal, yaitu: 

Laba kotor yang belum direalisasi adalah selisih antara penjualan angsuran dengan harga pokoknya. Laba kotor yang berlum direalisasi akan direalisasi pada saat penerimaan piutang usaha angsuran yaitu dengan mengalikan presentase laba kotor dengan kas yang diterima dari piutang usaha angsuran tersebut.

Untuk menghitung presentase laba kotor yaitu dengan membagi laba kotor yang belum direalisasi dengan penjualan angsuran yang bersangkutan dan hasilnya dikalikan 100%.

Laba kotor yang belum direalisasi  = Penjualan – HPP (Harga Pokok Penjualan)
% Laba kotor =  (Laba kotor yang belum direalisasi : Penjualan angsuran) x 100%  



Contoh soal:



III. PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN PADA PENJUALAN ANGSURAN 

A. Neraca
Penyusunan neraca pada perusahan yang melakukan penjualan nagsuran sama dengan penjualan biasa, hanya terdapat hal yang harus dieprhatikan adalah:
1. Piutang usaha angsuran biasanya dikelompokkan sebagai aktiva lancar dan harus dijelaskan pada penjelasan laporan keuangan atau dengan catatan kaki yang mengungkapkan tanggal jatuh temponya. Hal ini dengan asumsi bahwa definisi dari aktiva lancar adalah sumber-sumber yang diharapkan dapat direalisir menjadi kas atau dijual. Maka jangka waktu piutang usaha angsuran tersebut diabaikan. 
2. Laba kotor yang belum direalisasikan dapat dikelompokkan:
Kelompok kewajiban atau pendapatan yang belum direalisasi.
Pengurang piutang usaha angsuran.
Kelompok modal yang menjadi bagian dari laba yang ditahan 
Cara yang paling umum adalah laba kotor yang belum direalisasi dicatat sebagai kelompok kewajiban.
B. Laporan Rugi/Laba dan Daftar analisa realisasi laba kotor
Di dalam penyusunan perhitungan rugi/laba untuk penjualan angsuran, harus dipisahkan antara penjualan biasa dengan angsuran. Laba kotor penjualan angsuran periode tersebut dikurangi dengan saldo laba kotor yang belum direalisasi pada akhir periode, yang menghasilkan laba kotor periode tersebut yang telah direalisasi.

IV. PENGAKUAN LABA PENJUALAN ANGSURAN DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN 
Undang-undang Perpajakan No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Menurut salah satu metode penjualan angsuran bahwa laba kotor diakui sejalan dengan tagihan uang kas yang diterima, sehingga laba kotor akan diakui untuk beberapa periode fiskal. Sedangkan menurut pajak penghasilan sesuai dengan undang-undang no.7 bahwa laba hasrus diakui pada saat penjualan dilakukan. Sehingga terdapat perbedaan persepsi antara laba menurut metode penjualan angsuran dengan undang-undang pajak penghasilan. 
Menurut Prinsip Akuntansi Indonesia pasal 9 tentang pajak penghasilan, yaitu:
Dalam Perhitungan rugi/laba, jumlah pajak penghasilan dapat dihitung berdasarkan laba menurut akuntansi atau laba kena pajak, dengan tarif sebagaimana ditetapkan oleh fiskus. 
Dalam hal pajak penghasilan dihitung menurut laba akuntansi, selisih perhitungan tersebut dengan hutang pajak (yang dihitung menurut laba kena pajak), yang disebabkan “perbedaan waktu” pengakuan pendapatan dan beban untuk tujuan akuntansi dengan tujuan pajak akan ditampung ke dalam pos “pajak penghasilan yang ditangguhkan” dan dialokasikan pada beban pajak pengahsilan tahun-tahun berikutnya. Sehingga dengan demikian jika perusahaan menghitung laba menurut metode pengakuan laba kotor sejalan dengan penerimaan kas hasil penjualan angsuran, maka selisih antara pajak penghasilan perusahaan dengan pajak pengahsilan menurut fiskus ditampung dalam perkiraan pajak penghasilan yang ditangguhkan (belum direlisasi).   

Contoh soal: 
1. Bila PT Hadouken mendapatkan laba untuk tahun 1999 sebesar Rp. 10.250.000,00. Sedangkan menurut undang-undang pajak penghasilannya adalah Rp. 9.500.000,00. Buatlah jurnal untuk menyesuaikannya!
Pajak pengahsilan menurut perusahaan Rp. 10.250.000,00
Pajak pengahsilan menurut UU pajak penghasilan Rp. 9.500.000,00
Selisih Rp. 750.000,00

Jurnal untuk mencatat pembebanan pajak tersebut 
Ikhtisar rugi/laba Rp. 10.250.000,00 
Hutang pajak (PPh pasal 29) Rp. 9.500.000,00
Pajak penghasilan yang ditangguhkan Rp. 750.000,00

Jika perusahaan menggunakan metode pengakuan laba kotor pada saat penjualan angsuran, maka tidak terdapat perbedaan antara laba menurut perusahaan dengan laba menurut pajak. 

Undang-undang perpajakan No.8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai dan pajak 
   penjualan atas barang mewah 
Untuk perusahaan dagang umumnya dan perusahaan dagang angsuran harus ditetapkan apakah perusahaan tersebut adalah pengusaha kena pajak (PKP) atau non PKP.
Bila perusahaan tersebut adalah PKP, maka untuk seluruh penjualan barang dagangnya harus dikenakan PPN. Dan bila merupakan non PKP maka tidak boleh dipungut PPN. PPN yang dikenakan atas nilai jual ini disebut sebagai PPN keluaran. Sedangkan PPN atas barang yang dibeli merupakan PPN masukkan.  PPN masukkan dapat dikreditkan dengan PPN keluaran. 
Selain itu perusahaan juga membayar pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), bila barang yang dibeli merupakan kategori barang mewah.  Tarif ini berkisar anatar 10% - 30%.  PPnBM ini dikenakan hanya sekali pada pengusaha dan tidak daoat dikreditkan dengan PPN keluarannya sehingga harus dimasukkan sebagai harga pokok barang yang dibelinya.      

V. Variasi Soal 
Contoh soal dan penyelesaian penjualan angsuran barang bergerak.

Penjualan cicilan th 92 dengan tingkat laba kotor  25% dan penjulan cicilan th 91 dengan tingkat laba kotor 40%.

Transaksi dan ayat jurnal untuk PT. A yang berhubungan dengan penjulan biasa dan penjualan angsuran th. 1993 adalah sbb:

1 Januari 1993 sampai dengan 31 Desember 1993


e. Jurnal penyesuaian.

Bila pada  th. 93 tingkat laba kotor dari penjualan adalah 50% maka Harga Pokok barang yang berkaitan dengan penjulan adalah Rp. 100 juta.

HPP Cicilan 100 juta
Pengiriman atas penjualan Cicilan 100 juta

f. Untuk menutup perkiraan penjualan cicilan dengan HPP cicilan serta mencatat LK yang belum direalisasi.

Penjualan Cicilan 200 juta
HPP Cicilan 100 juta
LK yang belum direalisasi th. 93 100 juta

g. Jurnal penyesuaian untuk mencatat LK yang direalisasi untuk :
Th. 93 = 50% x 100 juta =  50 juta
Th. 92 = 25% x 100 juta =  25 juta
Th. 91 = 40% x   70 juta =  28 juta
103 juta

LK yang belum direalisasi th. 93 50 juta
LK yang belum direalisasi th. 92 25 juta
LK yang belum direalisasi th. 91 28 juta
LK yang direalisasi 103 juta

h. Untuk menutup perkiraan persediaan awal, pembelian, potongan, pembelian , dan penyisihan atas penjualan cicilan.

Ikhtisar R/L 597 juta
Pengiriman atas penjulan cicilan 100 juta
Potongan pembelian                                  3 juta
Persediaan BD (awal) 400 juta
Pembelian 300 juta


i. Untuk mencatat persediaan akhir.

Persediaan BD (akhir) 150 juta
Ikhtisar R/L 150 juta

j. Jurnal penutup akhir untuk perkiraan-perkiraan yang belum ditutup.

Penjualan (biasa) 700 juta
LK yang direalisasi 103 juta
Biaya operasi  53,5 juta
Ikt. R/L 749,5 juta

k. Jurnal untuk mencatat pajak yang terhutang :
10% x 25 juta =      2,5   juta
15% x 25 juta =      3,75 juta
30% x 252,5 juta =    75,75 juta
                          82      juta

Pajak penghasilan 82 juta
           Hutang pajak penghasilan 82 juta

l. Jurnal untuk menutup pajak penghasilan ke Ikt. R/L.

Ikt. R/L                                                      82 juta
            Pajak penghasilan 82 juta

m. Jurnal untuk memindahkan laba bersih ke laba yang ditahan.

Ikt. R/L                                                      220,5 juta
             Laba yang ditahan 220,5 juta

Masalah tukar-tambah dalam penjualan cicilan barang bergerak.

Misalkan barang dagangan dengan harga pokok Rp. 72 juta dijual seharga Rp. 100 juta. Sebagai pengganti uang muka, maka diterima barang bekas dengan nilai tukar tambah sebesar Rp. 30 juta. Perusahaan memperkirakan biaya perbaikan barang bekas ini sebesar Rp. 2 juta dan harga jual setelah diperbaiki sebesar 25 juta. Perusahaan biasanya mengharapkan laba kotor sebesar 12% atas penjualan barang bekas.

Nilai barang tukar tambah dan selisih nilai tukar tambah dihitung sbb :

Jumlah yang ditetapkan atas tukar tambah                                               Rp. 30 juta
Nilai barang tukar tambah :                        Rp. 25 juta
Nilai penjualannya         
Dikurangi: 
      Biaya perbaikan Rp.   2 juta
Laba kotor yg diharapkan atas penjualan kembali barang bekas =      Rp.   3 juta
                                                                                                      (Rp.  5 juta)
              (Rp. 20 juta) Nilai tukar lebih                                                                                                   Rp. 10 juta 

Jurnal untuk mencatat penjualan cicilan dengan tukar tambah ini adalah sbb :

Barang dagangan (tukar tambah) Rp. 20 juta
Nilai tukar lebih atas penj. cicilan dg tukar tambah Rp. 10 juta
Piutang penjualan cicilan Rp. 70 juta
       Penjualan Cicilan Rp. 100 juta

HPP Cicilan Rp. 72 juta
       Barang dagangan Rp.   72 juta

Persentase laba kotor = 18 juta : 90 juta x 100%   =   20%

Masalah pembatalan penjualan angsuran barang bergerak akibat ketidakmampuan membayar.

Misalkan penjualan cicilan th. 93 Rp. 200 juta
Tingkat LK atas penjualan cicilan th. 93 Rp.   50 juta

Pada tahun ’94, seorang customer tidak mampu membayar kontrak penjualan cicilan sebesar Rp. 10 juta yang berasal dari transaksi th. 93 dan total yang telah ditagih pada th. 93 adalah Rp. 5 juta. Barang dimiliki kembali dan dinilai sebesar Rp. 2 juta.

Maka jurnal untuk mencatat ketidakmampuan membayar dan kepemilikan kembali adalah:
Barang dagangan (pemilikan kembali) Rp. 2    juta
LK yang belum direalisasi th. 93 Rp. 2,5 juta
Kerugian atas pemilikkan kembali Rp. 0,5 juta
       Hutang Usaha Cicilan th. 93 Rp. 5 juta


0 komentar:

Posting Komentar